Dalam salah sebuah kesempatan
kadang ada orang bertanya kepada saya, “untuk apa sih nulis?” Kalau ada yang
bertanya seperti itu, biasanya saya sangat antusias menjawabnya.
Bermacam
argumen coba saya kemukakan tentang pentingnya menulis, tentu saja dari sudut
pandang yang berbeda-beda.
Pertama-tama
saya paling suka mengutip pernyataan dari salah seorang pimpinan pondok tempat
saya nyantri dulu. “Kalau kamu ingin berumur panjang, menulislah!” ungkapnya
pada suatu ketika.
Pada
awalnya saya tidak terlalu paham apa maksud pernyataan itu. Persisnya, apa sih
hubungannya antara umur panjang dengan menulis. Bukankah umur itu urusan Tuhan? Tapi kemudian segera
saya mengerti maksudnya. Bahwa seorang yang suka nulis, entah tulisan ilmiah
ataupun fiksi, meskipun dia sudah meninggal, orang-orang boleh jadi akan tetap
membacanya.
Betapa
banyak para penulis zaman dahulu di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
seolah masih hidup di tengah-tengah kita karena karya-karyanya masih tetap kita
baca sampai saat ini. Kamu yang suka ilmu-ilmu sosial, tentu sering “mengobrol”
dengan tokoh-tokoh semacam Karl Marx, Marx Weber, Emile Durkheim dan
sebagainya. Kamu-kamu yang gemar dengan dunia filsafat tentu tak asing “bersenda
gurau” dengan Plato, Aristoteles, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali dan
lain-lain.
Sementara
kamu-kamu yang menjadi penikmat
karya-karya sastera, tentu kerap “berakrab ria” dengan karya para sasterawan
terkemuka dunia semacam Willian Shakespeare, Ernest Hemingway, Leo Tolstoy dan
lain-lain. Di dalam negeri pastilah kamu tidak pernah ketinggalan untuk
“mereguk” keindahan goresan pena Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Asrul
Sani, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar dan masih banyak lainnya.
Mereka
semua yang telah kembali ke haribaan Tuhan itu, seakan-akan selalu hadir di
pikiran dan hati kita sehingga kadang kita tidak sadar bahwa mereka telah tidak
ada ada lagi di dunia ini. Itu semua tentu saja karena orang-orang hebat
tersebut telah mewariskan karya tulis yang membuatnya tetap “berumur panjang.”
Ohya
Menulis juga, kalau menurut saya, merupakan cara untuk mendapatkan kepuasan
batin. Bayangkan, betapa senengnya saya pada saat tulisan saya, baik yang
ilmiah maupun fiksi, dimuat pada salah satu koran atau majalah. Rasayanya saya
ingin mengabarkan hal itu pada semua penduduk kampung. Pasti kamu-kamu juga
kalau misalnya tulisannya dimuat akan merasakan hal yang sama. Saya jamin itu,
percaya deh!
Apalagi
kalau kemudian karya-karya kita dibaca
oleh orang-orang, pasti rasa senangnya berlipat-lipat. Mungkin saja orang yang
telah membaca tulisan kita itu kemudian memuji dan mengagumi, atau mungkin juga memberi masukan atau bahkan
kritik. Tidak apa-apa, hal itu justeru
menunjukkan apresiasi orang-orang tersebut atas tulisan kita. Sekali
lagi, di situlah letaknya kepuasan batin.
Menulis
juga sebenarnya merupakan cara untuk mengekspresikan diri. Lewat tulisan kita
sebenarnya berinteraksi dengan semua orang yang membacanya. Orang menjadi tahu
siapa kita karena membaca tulisan kita. Menulis, dengan demikian, menunjukkan
keberadaan kita. Kalau dulu seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, mengatakan
“Aku berpikir karena itu Aku ada” (cogito
ergo sum), maka bolehlah kita membuat ungkapan sendiri, “Aku menulis karena
itu Aku ada.”
Bagi
saya sendiri, menulis malah bisa menjadi semacam obat. Saat kita sedang ditimpa
banyak masalah atau dalam bahasa anak sekarang, galau, atau saat kita sedang
kesal atau marah terhadap orang atau situasi yang terjadi di sekitar kita, maka
menulis mampu melepaskan semua perasaan tidak enak itu. Semua permasalahan itu
kita tumpahkan ke dalam tulisan, sehingga pada akhirnya kita merasa lega.
Persis, saat orang sedang marah, lalu dia berteriak sekencang-kencangnya, maka
perlahan-lahan marahnya reda. Nah demikian pula dengan menulis. Nyatanya, waktu
kamu sedang galau atau kesal, lalu kamu menuliskan perasaan itu di buku harian
atau sekarang lebih popular di facebook atau twitter, kamu kan merasa plong
setelahnya. Jadi, menulis memang mampu menjadi obat mujarab, bukan?
Ada
juga orang yang berpandangan, kalau sering nulis, bisa mendatangkan penghasilan
besar. Ya, pandangan itu ada benarnya. Bahkan di luar negeri banyak penulis
yang mengandalkan hidupnya dari tulisan saja. Kamu pasti tahu dong siapa JK
Rowling. Andai belum tahu pun, pasti kamu sangat mengenal tokoh Harry Potter, baik dalam buku maupun
film. Nah, JK Rowling adalah pengarangnya. Ibu rumah tangga yang tadinya
menggantungkan hidupnya dari tunjangan sosial saja itu, sekarang telah menjadi
salah seorang terkaya di Inggris.
Di
dalam negeripun banyak penulis yang sukses secara materi. Sebut saja Andrea
Hirata penulis novel Laskar Pelangi
yang kemudian difilmkan dan mengalami kesuksesan yang luar biasa. Juga ada
Habiburrahman El-Shirazi penulis novel Ayat-Ayat
Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih
yang sama-sama mencetak sukses baik dalam bentuk buku maupun film. Masih banyak
lagi penulis-penulis kita yang lainnya dan sukses secara materi. Maka, di
negeri kita pun sekarang mulai banyak yang menjadikan aktivitas menulis sebagai
pekerjaan tetap.
Tapi
sebagai penulis pemula, baiknya jangan dulu berpikir tentang imbalan materi
karena hal itu akan datang dengan sendirinya kalau kita sudah menjadi penulis.
Dengan kata lain, jangan jadikan imbalan materi sebagai tujuan utama menulis
untuk saat ini.
Yang
jauh lebih penting adalah menjadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan (writing habit). Apapun yang terlintas di
benak kita, dari hal-hal kecil sampai besar, dari yang remeh temeh sampai yang
serius, segeralah tuangkan ke dalam tulisan. Kalau sudah seperti itu, aktivitas
menulis pastilah akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, percaya deh!